Penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh para pedagang, yang dipelopori oleh Maulana Maghribi, yang lebih dikenal dengan nama Maulana Malik Ibrahim. Beliau menyebarkan Islam tidak hanya sendiri, melainkan bersama-sama dengan yang lain atau biasa disebut dengan Wali Songo. Wali-wali tersebut menyampaikan risalah Islam dengan cara yang berbeda, salah diantaranya adalah yang kita kenal dengan Ja’far Shodiq atau biasa disebut dengan Kanjeng Sunan Kudus.
Menurut sejarah, Masjid Menara Kudus didirikan oleh Sunan Kudus atau Ja’far Shodiq ialah putera dari R.Usman Haji yang bergelar dengan Sunan Ngudung di Jipang Panolan (ada yang mengatakan tempat tersebut terletak di sebelah utara Blora). Sunan Kudus kawin dengan Dewi Rukhil, puteri dari R.Makdum Ibrahim, Kanjeng Sunan Bonan di Tuban. R.Makdum Ibrahim adalah putera R.Rachmad (Sunan Ampel) putera Maulana Ibrahim. Dengan demikian Sunan Kudus adalah menantunya Kanjeng Sunan Bonang. Sunan Kudus selain dikenal seorang ahli agama juga dikenal sebagai ahli ilmu tauhid, ilmu hadist dan ilmu fiqh. Karena itu, diantara kesembilan wali, hanya beliau yang terkenal sebagai “Waliyil Ilmi”. Adapun cara Sunan Kudus menyebarkan agama Islam adalah dengan jalan kebijaksanaan, sehingga mendapat simpati dari penduduk yang saat itu masih memeluk agama Hindu. Salah satu contohnya adalah, Sapi merupakan hewan yang sangat dihormati oleh agama Hindu, suatu ketika kanjeng Sunan mengikat sapi di pekarangan masjid, setelah mereka datang Kanjeng Sunan bertabligh, sehingga diantara mereka banyak yang memeluk Islam. Dan sampai sekarang pun di wilayah Kudus, khususnya Kudus Kulon dilarang menyembelih sapi sebagai penghormatan terhadap agama Hindu sampai dengan saat ini.
Cerita mengenai menara Kudus pun ada berbagai versi, ada pendapat yang
mengatakan,” bahwa menara Kudus adalah bekas candi orang Hindu,”.
Buktinya bentuknya hampir mirip dengan Candi Kidal yang terdapat di Jawa
Timur yang didirikan kira-kira tahun 1250 atau mirip dengan Candi
Singosari. Pendapat lain mengatakan kalau dibawah menara Kudus, dulunya
terdapat sebuah sumber mata air kehidupan. Kenapa ? karena mahluk hidup
yang telah mati kalau dimasukkan dalam mata air tersebut menjadi hidup
kembali. Karena dikhawatirkan akan dikultuskan, ditutuplah mata air
tersebut dengan bangunan menara. Menara Kudus itu tingginya kira-kira 17
meter, di sekelilingnya dihias dengan piringan-piringan bergambar yang
kesemuanya berjumlah 32 buah banyaknya. 20 buah diantaranya berwarna
biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma.
Sedang 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Dalam
menara ada tangganya yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat
pada tahun 1895 M. Tentang bangunannya dan hiasannya jelas menunjukkan
hubungannya dengan kesenian Hindu Jawa. Karena bangunan Menara Kudus itu
terdiri dari 3 bagian : (1) Kaki (2) Badan dan (3) Puncak bangunan.
Dihiasi pula dengan seni hias, atau artefix ( hiasan yang menyerupai
bukit kecil )
Arsitektur Masjid
Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura yang biasa disebut oleh penduduk sebagai Lawang Kembar (Pintu Kembar). Di dalam kompleks masjid juga terdapat pancuran untuk wudhu yang berjumlah delapan buah. Di atas pancuran tersebut diletakkan arca. Jumlah 8 pancuran konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yaitu Delapan Jalan Kebenaran atau Asta Sanghika Marga.
Arsitektur Menara
Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 meter. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar, semuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta, dan pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang.
Di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 Masehi. Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian Hindu Jawa. Karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian utama, yaitu : kaki, badan, dan puncak bangunan. Menara ini dihiasi pula antefiks atau hiasan yang menyerupai bukit kecil. Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang dua tumpuk atap tajug.